Masa Kecil Wahidin Halim

H. Wahidin Halim, lahir pada tanggal 14 Agustus 1954 di Kampung Pinang Kecamatan Cipondoh Kota Tangerang. Sebuah tempat yang jauh dari hikuk pikuk keramaian Kota. Dia adalah putra ketiga dari sembilan bersaudara. Putera pasangan H. Djiran Bahjuri dan Siti Rohana ini, bersama saudara lainnya, dibesarkan di lingkungan yang terbilang sederhana. Ayahnya berprofesi sebagai guru SD di Poris Plawad sedangkan ibunya tidak lebih dari seorang ibu rumah tangga biasa.
Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), seusai pulang sekolah, Wahidin kecil banyak menghabiskan waktunya untuk menggembala kerbau. Rutinitas pekerjaan itu dilakukannya tanpa sedikitpun keluhan. Dia selalu riang gembira, sekalipun kerbau yang digembalakan ketempat cukup jauh. Mulai dari rumahnya di Pinang hingga ke sekitar Bandara Soekarno-Hatta, Selapajang, Rawalele ataupun Rawabokor. Di sela-sela mengembala kerbau, Wahidin bersama teman-temannya kerapkali bersenang-senang, mandi di Kali Angke yang kala itu airnya masih bening dan bersih. Selain menggembala, Wahidin kecilpun turut serta membantu orang-tuanya menjual hasil pertanian, seperti cabe yang baru dipanen dari sejumlah petani ke Pasar Anyar. “Sekitar tahun 65 dan 70-an, Ayah saya bersama tetangga, kalau panen cabe menjualnya ke pasar“, kenangnya.
Ada sebuah kenangan yang membekas di benaknya, yaitu ketika duduk di bangku SMP, dia pernah merasakan belajar sambil berdiri di ruang kelas, karena tidak ada bangku. Saking ingin mendapatkan kenyamanan dalam belajar, dia terpaksa membawa bangku milik orang-tuanya yang sudah tidak layak pakai ke sekolah. Bahkan terkadang dijumpai Wahidin terkantuk-kantuk dalam mengikuti pelajaran di sekolah, hal itu disebabkan kurang tidur, selepas dini harinya mengantar cabe ke Pasar Anyar.
Di lingkungan keluarga, Wahidin termasuk orang yang cukup dekat dengan keluarga. Salah satunya dengan Hasan Wirayudha, yang sekarang menjadi Menteri Luar Negeri RI. Semasa kecil, keduanya cukup komunikatif, baik ketika di rumah, maupun bila sedang bermain. Pernah suatu ketika, keduanya asyik memandang pesawat terbang yang melintas di atas rumahnya. Mereka berdua berlarian mengejar kemana arah pesawat pergi. Sering terlontarkan ucapan untuk minta duit dan kue, sedangkan kakaknya minta ikut naik pesawat itu. Ibunya lantas bilang “ Gua doain supaya kalian berdua kelak dapat ikut naik pesawat gratis dan dapat kue atau makanan banyak, ternyata doa itu sekarang terkabul “, kenang Wahidin.
H. Djiran Bahjuri, ayahnya, selalu menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada anak-anaknya dalam bersikap. Hal semacam itu menjadi pelajaran berharga bagi Wahidin. Tidak dibenarkan mengambil sesuatu yang sebenarnya milik orang lain menjadi milik pribadi. Ayahnya terkadang kalau hendak mengajar ke sekolah, membawa palu dan paku. Kalau ada bangku yang rusak, ayahnya tidak segan-segan untuk memperbaiki. Kedua orang tuanya sempat berpesan, agar ilmu yang dituntut Wahidin bersaudara, nantinya dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Jangan sampai mengambil harta negara untuk kepentingan pribadi. Mengabdi harus sepenuh hati dengan tulus ikhlas, sehingga mendatangkan manfaat dan barokah bagi semuanya. Demikian pesan orang tuanya yang hingga kini masih terngiang-ngiang di telinganya.
Dia merasa beruntung dibesarkan dalam keluarga yang demokratis. Ibunya, meski sebatas ibu rumah tangga biasa, namun cukup disiplin dan ulet dalam mendidik anak-anaknya. Kedisiplinan yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya ternyata membuahkan hasil. Sampai sekarang kedisiplinan itu menjadi prioritas bagi Wahidin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

H. Wahidin Halim

H. Wahidin Halim
Perubahan